TEMA TENTANG UMMATAN WAHIDAH

QS.  Al-Baqarah  (2):  213.  kān an -n ās u  u mm ataw  wāḥ idah ,  fa  ba’aṡ allāh u n –

 n abiyyīn a  m u bas ys yir īn a  wa  m u n ż ir īn a  wa  an z ala  m a’ah u m u l -kitāba  bil-ḥ aqqi

 liyaḥ ku m a bain an -n ās i fīm akh talafụ fīh , wa m akh talafa fīh i i llal laż īn a ụ tụ h u m im

 ba’di m ā jā`at-humul-bayyin ātu  bagyam  bain ah u m , fa h adallāh u llaż īn a ām an ụ

 lim akh talafụ  fīh i  m in al-ḥ aqqi  bi` iż n ih ,  wallāh u  yah dī  m ay  yas yā`u  ilā  ṣ ir āṭ im

 m u s taqīm [Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.]

Ayat ini cukup panjang, maka kita untuk sekedar membaginya sebagai berikut:

  1. Manusia itu (dahulunya) satu umat.
  2. Lalu  Allah  mengutus  para  nabi  (untuk)  menyampaikan  kabar  gembira  dan peringatan.
  3. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
  4. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti- bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri.
  • Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.]

1.   Manusia itu (dahulunya) satu umat.

Allah mengutus nabi nabi untuk memberikan berita tentang hal-hal yang menguntungkan mereka dan hal-hal yang merugikan mereka dalam menjalani kehidupan, mubasyirin, menyampaikan hal-hal yang menguntungkan mereka dan hal- hal yang merugikan mereka dalam menjalani kehidupan.

2.   Lalu  Allah  mengutus  para  nabi  (untuk)  menyampaikan  kabar gembira dan peringatan.

Kemudian menurunkan Al-kitab, hadits, disini suka disingkat saja dengan memberikan kabar gembira. Aslinya dia adalah kabar gembira, yaitu hal-hal yang menggembirakan mereka dalam menjalani kehidupan atau hal-hal yang menggembirakan mereka di akhirat nanti, dan memberikan peringatan terhadap hal-hal yang akan merugikan mereka, dan atau menyengsarakan mereka, itulah misi para nabi.

3.     Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Lalau untuk mendukung para nabi itu Allah menurunkan bersama mereka Al- kitab. Dan kita tahu kalau definisinya nabi dan rasul disebutkan oleh sebagian ulama bahwa jika nabi tidak membawa wahyu atau kitab baru, jika Rasul dia membawa kitab, dan ajaran tauhid  yang baru.

Kemudian yang memahami bahwa tidak ada bedanya nabi dan rasul mengatakan bahwa nabi adalah yang melanjutkan risalah dan kitab yang dibawa oleh nabi sebelumnya, ada yang mendapatkan kitab dan wahyu yang baru yang menghapus sebagian dan meneguhkan sebagian, terlepas dari perbedaan itu yang pasti adalah bahwa Rasulullah yang diutus denga kitab, yang kitab ini dibuktikan tentang kebenarannyan dengan al-hak.

Di awal surat Al-Baqarah kita sudah mendapatkan penjelasan bahwa respon manusia yang diturunkan oleh Allah, sebagian ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir, kemudian di antara keduanya tidak menempatkan diri sebagai orang yang beriman dan tidak vulgar mengatakan dirinya menolak dan ingkar, ada al-munafiqun inilah yang di respon, aslinya satu umatan wahidah, setelah Rasulullah datang lalu mereka terbelah menjadi ada yang menjadi beriman, ada yang menjadi kafir, dan ada yang di tengah-tengah antara keduanya.

Ini satu penafsiran, kemudian penafsiran yang lain adalah aslinya memang dua tapi  kemudian  ayat  ini  menjelaskan  kepada  yang  sama-sama  beriman,  generasi

berikutnya mereka bersengketa dan berbeda pendapat disektor keimanan dan disektor pelaksanaan ibadah.

Di antara keimanannya ada yang disusupi oleh ide-ide dan pemikiran-pemikiran dan imajinasi atau disusupi oleh riwayat-riwayat yang tidak akurat dalam mendeskripsikan apa kata para nabi. Kalau nabi dan rasul semuanya maksum dilindungi oleh Allah dari kesalahan, tetapi yang penerima seringkali memiliki subjektivitas dan mengintepretasikan secara keliru, apalagi jika tidak dijaga kualifikasi siapa yang meriwayatkan dan siapa yang menuturkan apa yang didengar dan apa yang dilihat dari nabi.

Nah disini muncul perbedaan karena ada sisipan, adapun tentang Al-Quran sendiri tidak ada perbedaan. Dan ada pun tentang Al-Quran itu sendiri dia tidak ada perbedaan, dia satu kesatuan. Disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 82 sebagai berikut:

QS. An-Nisa (4): 82. wallaż īna ām anụ wa ‘am iluṣ -ṣ āliḥāti ulā`i ka aṣ -ḥābul-jannah,

 hum  fīhā khālidụn  [Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.]

4.       Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri.

Yang dulu pernah ditanyakan Pak Fahmi junior bahwa kenapa ada perbedaan di antara umat Islam dan tidak sedikit yang mengklaim bahwa dialah yang benar dan bahkan cenderung menyalahkan orang lain. Di sini Al-Quran mengatakan dalam Surat An-Nisa, apakah mereka tidak ada taddabur, yatadabbarun itu memahami dengan hak, bukan memahami dengan pikiran semata. Jadi upaya memahami melibatkan hati, melibatkan keimanan, kalau hanya dipahami secara rasio, banyak kemampuan rasional kita dengan standar definisi rasional yang kita kenal.

Kita tidak bisa menjangkau dan tidak bisa menangkap pesan Al-Quran secara utuh, tetapi kalau rasional berbasis iman yang didasari oleh rasio, maka itulah yang dimaksudkan dengan taddabur, dia akan menjumpai bahwa Al-Quran ini tidak ada paradoksal antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain, tetapi dia adalah saling menyempurnakan, dan saling menjelaskan, dan itulah metodologi yang ditempuh oleh sejumlah mufassirin dalam menerangkan ayat Al- Qur’an, tafsir Al Qur’an bil quran dan kemudian tafsir Al-Quran dengan hadis.

Berarti ini menunjukkan bahwa Al-Quran bukan buatan manusia, sebab kalau buatan manusia pasti selalu ada paradoksal.

Pernah diberitakan bahwa Jimly Asshiddiqie mengatakan ada lebih dari 1000 ayat-ayat atau pasal-pasal dalam perundang-undangan kita yang paradoks, begitu diberitakan di media massa, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 3.000 paradoks, selalul seperti itu, apalagi kalau ini dalam suatu negara saja sudah begitu, apa lagi kalau beda negara.

Jadi paradoksal itu selalu ada dan kita menjadi korban paradoksal dalam mendeskripsikan apa itu extra Ordinary Crime, apa hak-hak para narapidana dan kita menjadi korban.

Di dalam Al-Quran dan dalam hadis kita tidak akan pernah menemukan itu dan tidak pernah ada paradoksal, maka   itulah salah satu bukti bahwa Al-Quran adalah qalam Allah dan disebutkan andai Al-Quran dan andai sabda- sabda nabi itu bukan datang dari Allah, maka kita akan mendapati banyak yang orang yang merugikan kita. Tetapi kalau dari Allah jika ada perbedaan itu adalah rahmat, artinya  Allah memberikan space untuk memilih salah satu diantara yang berbeda. Karena kondisi

kehidupan kita yang kadang-kadang tidak sama.

Maka kalau ternyata di kalangan beragama ada perbedaan, ini bukan karena Quran-nya. Jadi sesama umat beragama perbedaan itu bukan karena wahyu dan bukan karena risalah yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi itu disebutkan disini diakibatkan oleh sifat buruk yang dimiliki oleh manusia, yaitu kedengkian di antara mereka yang merupakan faktor penyebabnya.

Jadi dari sisi kitanya yang membuat terjadinya perbedaan, aslinya tidak ada, dan aslinya umat pun satu antara ahli kitab dengan umat Islam semestinya adalah satu kesatuan, tetapai karena adanya kedengkian di antara manusia maka muncullah perbedaan.

Jadi itu disebutkan antara Islam dan kafir dan keluarga besar rasulullah yang menolak kenabian Muhammad Ibni Abdillah, mereka mengatakan,”Itu karena kenapa malaikat Jibril turunnya kepada Muhammad bukan turunnya ke kami yang lebih senior dan yang lebih lama, Jibril salaa alamat karena Allah mengutus………., kenapa Allah memberikan kemuliaan kepada Muhammad Ibnu Abdullah, kenapa bukan kepada saudaranya atau saudaranya keluarga Rasulullah.”

Atau perkataan Al-Walid Al-Mughorah yang merasa lebih pintar dan lebih cerdas dan lebih mapan dibandingkan dengan Muhammad bin Abdullah kenama malaikat Jibril turun kepada Muhammad. Ini kedengkaian di antara mereka sehingga mereka menolak dan tidak mau menerima.

Contoh yang lain adalah tentang ahli kitab pada zaman Rasulullah yang tidak mau menerima, yang banyak dijelaskan adalah orang-orang Yahudi, dan itulah yang dijelaskan ayat ke-41 hingga ayat ke-140-an, ayat menjelaskan tentang kinerja atau respon ahli kitab  terhadap Al-Quran dan terhadap  nabi-nabi dan  merekalah yang menyisipkan benih-benih atau memasang perbedaan akibat dari rasa iri dan dengki dan tidak bisa menerima karunia Allah yang diberikan kepada masing-masing hamba-Nya. Dikatakan kenapa bukan dari Yahudi, kok  yang diutus adalah orang Arab, lalu dikatakan,”Dulu Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah dari kalangan kalian, kalian diberi keunggulan dengan banyaknya nabi yang datang dari kalangan Bani

Israel Nabi tetapai kalian………..”

Nabi Musa, apa yang kalian lakukan kepada Nabi Musa, Nabi Isa apa yang kalian lakukan kepada Nabi Isa, dan kepada nabi-nabi yang lain sebagian kalian dustakan, sebagian kalian perlakukan secara tidak baik dan sebagian kalian bunuh, padahal nabi tersebut itu dari kalangan sesama Bani Israel, lalu tatkala Allah mengutus dari kalangan bangsa Arab, kalian pun melakukan hal yang sama.

Jadi kedengkian orang Yahudi, sifat buruk yang dijadikan acuan dan standar cara pandang dan cara berpikir orang Yaudi, maka yang diperintahkan adalah,”Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk memposisikan diri sebagai hamba di hadapan Allah dengan hati yang bersih, pure dan tidak terseret-seret oleh subyektifitas dan kepentingan atau hidden agenda dalam meraih dunia.”

Sepanjang hati kita terbebaskan dari kepentingan duniawi dalam membaca dan dalam memahami agama, maka itulah yang akan membuat kita menyatu. Sepanjang masih kita kaitkan antara cara pandang terhadap agama dengan kepentingan duniawi, maka disinilah kemudian akan muncul baghyam bainahum (kedengkian diantara mereka) akan terjadi perbedaan.

Maka kita harus selalu berdoa kepada Allah agar kita diberi hati yang bersih, dan kita berdoa Allah agar selalu membantu kita untuk membersihkan hati, agar di sektor hati tidak ada interest duniawi, tidak ada kedudukan sosial kita gunakan untuk menangkap dan memahami ajaran agama Allah. Jika mukhlisina lahuddin maka kita hunafa, akan menjadi orang yang hanif. Hanif itu artinya adalah dia tulus dan tidak menginsert, tidak memiliki interest,”Kalau saya menerima berarti gengsi saya akan turun,  nanti penngikut saya akan bubar.”

Jadi jangan gengsi pribadi dan subyektifitas kita digunakan melaksanakan ajaran Allah dalam menata kehidupan sosial. Maka kita harus menjalankan apa yang Allah minta, menerima akan realita tentang akan adanya perbedaan. Dan memaklumi mereka yang masih belum sama dengan cara pandang kita, lalu kita berdoa kepada Allah agar kita memiliki kesamaan pandangan, dan kita menjalankan apa yang kita yakini, yang belum sama cara pandangnya kita maklumi, yang bersikeras kita doakan, agar dilembutkan hatinya dan diberi kemampuan bertindak dan berpikir objektif dalam menerima kebenaran.

Ini kalau sampai terjadi di anggota keluarga kita, antar saudara kandung kita dan itu sudah terjadi, maka bagaimana sikap yang yang ideal yang harus kita miliki agar keutuhan keluarga besar tidak sampai ternodai oleh subjektivitas dalam pandangan agama. Kita boleh berbeda tetapi jangan karena agama, maksudnya sama-sama Islam jangan itu yang dijadikan faktor penyebab perbedaan, harus bisa kita reduksi untuk kita memaklumi. Mungkin beda habit, mungkin beda selera, kan kita maklumi dan itu biasa saja.

Kalau perbedaan hingga sengketa faktor penyebabnya adalah Islam, ini akan berdampak kepada kebersihan dan ketulusan kita di dalam beragama, maka kita harus bisa menyamakan dengan cara padang dengan anggota keluarga atau saudara kandung kita, lalu kemudian kita dengan ipar kita, lalu kita dengan paman dan lain sebagainya, sehingga keluarga besar kita adalah umatan wahidah.

Jadi misi untuk menjadi umat yang satu. Ini salah satu bagian dari konsekuensi logis keislaman dan keimanan kita, upaya untuk membuat agar sesama orang beriman memiliki kesamaan dan mentargetkan untuk terjadinya umat yang satu atau ummatan wahidah.

Ide-ide untuk itu banyak seperti di Jawa Barat dimunculkan sebuah ormas yang juga sebelum merdeka sudah didrikkan Persatuan Umat Islam dan banyak yang…………, walaupun tidak diekspresikan dalam nama, tetapi misinya adalah menyatukan umat Islam, tinggal landasannya. Ada yang landasan cara pandang dan pemahaman, ada landasan dengan rasa kebangsaan, ada landasannya adalah semangat perjuangan masing-masing, tetapi intinya hampir semua ormas Islam menginginkan agar menjadi ummatan wahidah.

Karena kebalikannya disebutkan jika kalian bersengketa dan berpecah-belah maka kalian tidak memiliki pamor di depan masyarakat, dan akan gagal memperjuangkan   kepentingan   umat   Islam,   dan   akan   gagal   memperjuangkan

kepentingan umum dan kepentingan agama dan akan dianggap remeh oleh orang-orang lain karena kita kehilangan pamor, itu resiko yang akan kita hadapai.

Maka tatkala kita mendeklare keimanan berarti kita memiliki aqidah kesamaan di sektor aqidah. Lalu ini tidak cukup tetapi harus dilanjutkan dengan memiliki kesimpulan yang sama tentang agama, yaitu cara pandang yang sama, biasa disebut wahdatul fikro, kesamaan cara pandang tentang peran agama. Jadi jangan di mix antara logika kehidupan sosial dengan logika beragama, karena ini antara kita dengan Allah, kalau yang ini antara kita dengan kita.

Seperti umpamanya dalam beribadah, maka jangan berpikir tentang keuntungan dan kerugian, untung dan rugi jangan dimasukkan dalam klausul cara pandang beribadah. Ini karena Allah, ini perintah Allah untung atau rugi kalau sudah clear ini perintah Allah ya sudah kita jalan kan, nanti yang akan menimbulkan ekses negatif akan dicover oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi kalau urusannya habluminannas interaksi sosial baru kita fikir, untung atau rugi bermanfaat atau tidak, ini kalau sesama kita, tetapai kalau dengan  Allah  tidak.

Tidak ada satu pun yang merugikan kalau mendekatkan diri kepada Allah, tidak ada satupun yang mencelakakan kita jika kita melaksanakan perintah Allah. Maka logikanya harus dipisah, kita juga confuse antara logika interaksi antar manusia dengan logika interaksi antara kita dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kalau    masalah     gengsi    Allah     menyebutkan,”Sesungguhnya    kemuliaan semuanya milik Allah.” Disebutkan,”Allahlah  yang akan memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki dan akan merendahkan Siapa saja yang Dia kehendaki.” Berwibawa dengan landasan penampilan fisik, pakaian dan dandanannya tetapi kan tidak lama, setelah itu ada perubahan dalam postur tubuhnya, maka hilanglah. Di saat masih bertugas dengan seragam yang sangat elegan dengan desainer pakaian yang sangat piawai, sehingga dia tampil lebih gagah dari aslinya, itu kalau pakai baju seragam dinas, tetapi kalau dilepas, apa lagi kalau tidak pakai baju, ini akan hilang, ini akan berakhir. Kalau kewibaan kita dibangun karena kedudukan sosial, maka dia juga akan ada pergantian dan dia akan kehilangan posisi, dan peran, kalau karena harta akan ada orang yang lebih kaya. Jadi apa yang menjadi landasan maka serahkan saja kepada Allah, izzah tau kemuliaan kita biarkan Allah yang memberikan kemuliaan dan biarkan Allah

yang akan mencabut kemuliaan dari siapa saja yang Dia kehendaki.

Jadi hati-hati dengan mengisert interest dalam tata cara kita beragama. Orang- orang Yahudi ini dioplos menjadi satu, disebutkan bahwa,”Tidaklah mereka bersengketa dan berselisih dan bahkan melakukan langkah-langkah yang destruktif dalam umat itu hanya lantaran kedengkian.” Kedengkian itu dampak dari keimanan yang keliru. Kan Allah yang menempatkan, dialah Allah yang akan memberi, Allah akan memberikan kelebihan dan keunggulan bagi siapa saja yang dia kehendaki dan Allah memilih siapa-siapa saja yang dia kehendaki

Itu otoritas Allah dalam memberi dan untuk menahan, seluruhnya adalah otoritas Allah untuk mendistribusikan, sementara kita diperintahkan untuk mengakui bahwa Allah itu Maha Adil, tatkala kita iri maka sama dengan kita meragukan keadilan Allah, ini dampak kepada akidahnya. Kalau kita dengki berarti kita ingin masuk ke salah satu sifat yang Allah yang memberi dan Dia yang menahan lalu kita ingin menghilangkan apa yang sudah Allah berikan kepada mereka untuk dipindahkan. Jadi masuk ke ranah yang bukan ranah kita.

Iya sudahlah masing-masing mendapatkan rezeki dan tidak ada yang salah alamat. Masing-masing di beri kemuliaan dan tidak ada yang salah alamat. Allah tidak pernah salah alamat dalam mendistribusikan apapun yang diberikan kepada masing- masing hambaNya.

Jadi ada kesalahan yang fatal di sektor aqidah yang membuat mereka bersikap tidak benar dan salah dalam mempersepaikan agama dan mempersepsikan Allah.

Inilah yang terjadi di kalangan ahli kitab, maka kita jangan meniru mereka.

Maka berikutnya orang-orang ahli kitab yang sesat itulah lantaran mereka tidak bisa membedakan cara pandang yang religius dengan cara pandang sebagaimana yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa taala dalam beragama.

5.       Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.]

Selanjutnya berikutnya Allah menjelaskan kepada orang yang beriman kepada Allah akan diberi hidayah untuk keluar dari perbedaan pendapat dan perselisihan yang muncul atau dampak dari kedengkian yang ada di antara manusia.

Maka ada sebuah doa yang sebagian mengatakan itu adalah bersanad kepada Rasulullah tetapi tidak ada yang menyebutkan kecuali Ibnu Katsir, ada mengatakan itu dinukil oleh Imam Syafi’i itu, bahwa,”Ya Rabb, tunjukkanlah kebenaran dalam performannya yang benar dan berilah saya kemampuan untuk mengikuti kebenaran………….”

Jadi minta kita terbebaskan dari dampak sengketa, disebutkan pula di dalam Ddoa yang diajarkan oleh Rasulullah, agar kita tidak terjebak dalam lingkaran perbedaan pendapat yang menimbulkan persengketaan dan menimbulkan perselisihan dan destruktif. Rasulullah mengajarkan sebuah doa, di sini disebutkan,”Sesungguhnya hanya Engkaulah yang bisa memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus, jalan yang benar menuju Allah Subhanahu wa ta’ala.”

Kadang pilihan fiqih kita justru menjauh kita dari Allah, umpamanya perbedaan antara orang Syiah dengan orang ahlulssunnah wal jamaah, Sunni dan Syiah mereka berbeda di sektor pemahananam tentang nikah.

Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan menikah itu tidak boleh bersyarat dengan persyaratan rentang waktunya,”Saya terima nikahnya untuk 3 bulan saja, saya terima nikahnya untuk 1 tahun saja.” Yang muttafaq Alaihi di kalangan ahlus-sunnah tidak boleh persyaratan ini. Sebab ini masuk dalam kategori nikah mut’ah, yang sudah diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, orang Syiah membolehkan boleh nikah hanya seminggu saja boleh satu bulan saja, boleh menikah waktu yang dia inginkan.

Kita meminta supaya diberi petunjuk Allah agar dipilihkan jalan yang benar, jalan menuju Allah yang membuat kita tidak masuk dalam kategori yang dimurkai

Allah dan tidak sesat, terapai yang kita inginkan sirotol ladzina an’amta alaihim, jalan yang kau taburi dengan nikmat dan keridohan, yang aman?

Kalau tidak maka kalkulasi rasional dan manusiawi kita akan cenderung,”Ah boleh juga nikah mut’ah a ini akan sebentar.” Halal sebentar, ini pendapat orang Syiah. Kalau memang itu benar maka boleh tidak anaknya dinikahi oleh orang lain dengan mut’ah? Maka kita tidak akan terima, dan ini tandanya bahwa itu mungkar, dia melamar anak kita dan nikahnya hanya untuk seminggu saja atau sebulan saja, ada tidak orang tua yang mau menerimanya?

Maka akibatnya mereka yang menegasikan persetujuan orang tua, maka boleh nikah tanpa saksi dan tanpa wali, karena tidak ada wali yang mau menerima Wali nasab perempuan maupun kakaknya maupun pamannya tidak akan mau menerima pernikahan seperti itu. Akhirnya mereka mengizinkan nikah tanpa wali.

Tanpa wali lalu kemudian, kan harus ada seksi, saksinya mau tidak menerima? Ini tergantung biayanya berapa. Akhirnya orang yang objektif tidak akan mau menjadi saksi, akhirnya mereka menghalalkan nikah mut’ah, tanpa saksi tanpa wali, berdua saja lalu ini penyimpangan.

Jadi kalau kita ingin menjadi orang yang hunafa, sudah tulus dan bersih, maka ajaran Allah itu excitable bagi hati nurani setiap manusia, kalau ada penolakan keingkaran dan itu menjadi pengingkaran kolektif dan masif Nah itu perlau dicros check ulang ajarannya, benar atau tidak.

Maka Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah seperti yang di menjelaskan oleh orang Syiah, tetapi persoalannya yang meriwayatkan hadis haramnya nikan mut’ah bukan ahlul Bait, sementara kita tidak mempersyaratkan ahlul bait sebagai perowi syarat sahnya sebuah hadis. Maka dia harus diterima. Ini tentang pilihan.

Adalah pebedaan yang utama antara kita kita dengan mereka, mereka mengatakan bahwa,”Barang siapa yang memuji Ali Bin Abi Thalib, memuji Hasan Husein itu membuat mereka masuk surga.

Itu akidah Syiah bukan dan ini ahlulssunnah wal jamaah h. ahlulssunnah wal jamaah, ada memuji Allah dan memuji rasul yang official diperintahkan, memuji Ali Bin Abi Thalib saja dan kemudian mengecam sahabat-sahabat nabi yang lain itu adalah pengkahaitnan kepada Rasulullah. Masa iya orang lagi sekaliber Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berhasil mengislamkan masyarakat dan warga Kota Mekah dan warga Kota Madinah, hasilnya hanya saudaranya saja, kalau bukan saudaranya dianggap menghianati Rasul.

Mereka mengatakan Umar Bin Khattab dan Abu Bakar berkhianat, semua sahabat berkhianat, yang tidak hanya keluarga saja, berarti nabi gagal, karenya kalau baik keluarga maupun bukan keluarga yang terbukti dalam sejarah mereka adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul, dan kesetiaannya sama Allah, apapun kesalahan yang mereka lakukan kita tetap mengakui keimanannya, adapun kesalahan itu antara mereka dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Yang tidak bersalah Rasulullah karena setiap kalau ada salah biasalah langsung diturunkan malaikat menegur dia, termasuk sahabat nabi, semuanya berpotensi untuk melakukan kesalahan seperti kata Rasulullah. Ini tidak boleh menutup iman dan perjuangannya.

Jadi bukan hanya yang Ali bin Abu Tholib yang kita puji tetapi seluruh sahabat, bukan hanya putranya Ali bin Abi Thalib yang kita kagumi, tetapi putranya Abu Bakar, Aisyah putranya Abu Bakar, Hapsah, dan semua putra dan putri para sahabat yang di

dalam riwayat adalah orang-orang yang soleh dan patuh, dan bahkan putranya Abu Jahal Ikriman yang belakangan masuk Islam kita puji, dan kita memuji tidak boleh pilih-pilih, kalau mereka hanya kepada Hasan dan Husen saja.

Bukan hanya Ali, tetapai seluruh putra sahabat-sahabat kita puji, bukan hanya Ali, tetapi kalau Syiah hanya Ali bin abu Thalib dan Hasan dan Husen saja, yang lain tidak diakui. Inilah subyekfititas mereka yang menyimpang dari ajaran Rasulullah.

Menghadapi persoalan seperti itu kita hanya meminta kepada Allah di sector- sektor yang terjadi perbedaan,”Sesungguhnya hanya Engkaulah yang bisa membimbing dan menunjukkan jalan yang lurus, menuju keridhaan Allah.”

Jadi ini sambil, kita diperintahkan untuk obyektif. Jadi hati yang bersih standar logikanya adalah referensi Al-Quran dan referensi hadist menjadi rujukan, kemudian referensi penjelasan sahabat-sahabat nabi itu juga menjadi referensi, lalu kemudian ulama salafu saleh dan para ulama yang merujuk kepada Allah dan Rasul, dan para sahabat dari kalangan tabi’in dan tabi’in tabi’in itu pun menjadi referensi.

Jadi kita punya standar referensi dan hierarki rujukan yang clear dalam ajaran Islam sudah seperti itu, kalau masih ada perbedaan maka disebutkan di dalam sebuah ungkapan,”Kita harus bahu-membahu dan untuk membantu di sektor yang telah bersependapat, adapun yang masih belum sama, yang berbeda kita saling memaklumi dan saling menghormati pilihan, yang sudah kita sepakta ktia kerjasama.”

Maka nanti Allah akan membimbing kita untuk mereduksi dampak dari perbedaan dan khilaf dan perselisihan, karena kita telah ta’awanu Alal birri wattaqwa, hendaklah kalian saling bantu-membantu, bahu-membahu untuk melaksanakan amanu watakwa.” Lalu Rasulullah mengatakan,”Umatku tidak mungkin bersepaham dalam kesesatan, dan kalaupun toh ada perbedaan, ada kesamaan cara pandang dalam kesesatan pasti mereka akan segera mendapatkan informasi tentang referensi yang benar dari Pilihan-pilihan yang ada.”

Persoalannya dalam menghadapi datangnya penjelasan dari Allah dan Rasul, yaitu dari al-Quran dan dari hadis, dari Firman Allah dan dari sabda nabi, datang kepada mereka penjelasan sikap baghyam, kecenderungan ingin melanggar, kecenderungan ingin mengkooptasi, kecenderungan iri dan tidak mau menerima orang lain. Ini harus dihilangkan dan itu caranya dengan cara memahami sifat-sifat Allah, asmaul husna bahwa Allah itu Maha Adil, Allah Maha Bijaksana dan Allah tidak akan menelantarkan orang yang telah beramal soleh, dan beriman kepadanya, maka kita akan akan terbebaskan dari apa yang dikategorikan deskturktif dalam sikap beragama kita.

Lalau diayat berikutnya dikatakan:

QS. Al-Baqarah (2): 214. am ḥ as ibtu m an tadkh u lu l -jan n ata wa lam m ā ya`tiku m

 m aṡ alu llaż īn a kh alau ming qablikum, massat-humul-ba`s ā`u waḍ -ḍar r ā`u wa zu lz ilụ

 ḥ attā yaqụ lar -r as ụ lu wallaż īn a ām an ụ m a’ahụ m atā n aṣ r u llāh , alā in n a n aṣ r allāh i

 qar īb [Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.]

Bahwa resiko dari menjalankan semua ajaran agama, tadi disebutkan di ayat sebelumnya:

QS. Al-Baqarah (2): 208. yā ayyu h allaż īn a ām anu dkh u lụ fis -s ilm i kāffataw wa lā

 tattabi ‘ụ kh u ṭu wātis y-s yaiṭān , in n ah ụ laku m ‘adu wwu m m u bīn [Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.]

Bahwa,”Wahai orang yang beriman jika ingin membangun komitmen kepada Allah jangan pilih-pilih berbasis subyektifitas kita, tetapai berusaha untuk menerima Islam secara utuh.” Ada yang menerima Islam secara keseluruhan, secara utuh, ini jumlahnya di luar kemampuan kita, tetapi terima saja dulu, nanti melaksanakannya semaksimal yang kita bisa, tidak semuanya langsung bisa kita percaya, kita Imani, kita pahami, tidak semuanya bisa kita jalankan, maka kita harus mengikuti prosedur tahapan.

Tetapi tahapannya harus pasti jangan berhenti, kadang-kadang kita berhenti mencukupkan diri kepada pengetahuan agama kita, mencukupkan diri yang pernah kita pelajari selagi SMP, mencukupkan diri selagi kita pelajari saat SMA, selagi mahasiswa, tidak tumbuh dan tidak menambah,”Dulu saya di kampus seperti ini aku sekarang berbeda lagi, dulu saya di kampung seperti ini, kenapa sekarang harus berbeda?”

Jadi ini bukan fenomena lapangannya tetapi referensinya,”Dulu saya ikut pengajian, pengajian salat bergengsi penceramah apa kyainya representative, dia memiliki integritas tinggi begitu caranya sekarang berbeda.” Ditanya dulu yang berbeda ini ada referensinya tidak, yang mengajarkan dulu background-nya apa? Sebab kadang-kadang stresing seseorang atau bahkan ulama sekalipun dia fokus kepada bidang studi dia, tidak bisa sekomprehensif  Rasulullah.

Rasusullah Alaihi Wa Sallam sangat komprehensif, kita parsial fokus pada bidang yang ditekuni. Maka kalau kita tidak menekuni bidang yang sedang berbeda, berarti dia tidak representasi kebenaran membawa referensi dari bidang dia, karena memang beda disiplin ilmu, ahli aqidah semestinya tidak berbicara fiqih, ahli fiqih semestinya tidak berbicara akidah, dalam perdebatan dan perbedaan, karena aqidah itu hitam putih, fiqih tidak hitam putih.

Maka kita lihat orang yang stresingya akidah, begitu baca fiqih, habis shalat tidak mau salaman, salamannya bid’ah, ini bukan aqidah tetapi ini fiqih, fiqih itu ada situasi yang kita harus memilih full optiion, ada rukhsoh dan situasi yang kita sedang dalam kondisi tertentu, tidak memilih yang tidak full option.

Maka dalilnya tidak hitam putih, kalau yang senang belajar aqidah, lalu masuk ke ranah fiqih semuanya menjadi haram, semuanya menjadi bid’ah, berdoa angkat tangan bermasalah, habis berdoa mengusap wajah bermasalah, mau makan hadisnya memang katakan bacalah bismillah kalau,”Ya Allah Ma bariklana fima rozaktana wakina adza banner,” itu bid’ah. Bid’ah itu sesat, sesat itu masuk neraka. Jadi masa iya orang hanya salaman saja masuk neraka. Kan tidak, bukan begitu alur logika fiqih dan syariah.

Kalau logika aqidah memang menganggap Allah tidak adil, itu dampaknya sistimik, menganggap Allah tidak bijak, menganggap Allah tidak tahu tentang kelakuan kita, itu dampaknya sistimik. Tetapi kalau akidah dia  harus meyakini bahwa Allah itu

Maha    mendengar dan Maha Melihat. Jangan menganggap kelakuan kita di tidak didengar dan tidak dilihat oleh allah.

Jika itu dilakukan maka akan bisa kufur, bisa sesat, tetapi kalau fiqih tidak, tidak qunut, nah ada pilihan maka semua ulama mengatakan tidak wajib qunut, qunut itu hukuma tertinggi adalah sunnah, sunnah muakkadah, tetapi tetap sunnah, yang disebut sunnah dikerjakan mendapat pahala ditinggalkan tidak apa-apa, kan begitu devensisi hukum sunnah itu.

Maka kalau ada yang meninggalkan kita maklumi kalau ada yang mengerjakan kita maklumi, tetapi kalau dipandang dari cara akidah oh masuk neraka ente, yang qunut dianggap masuk neraka. Ini perbedaan yang paradoks yang tidak mungkin satu dianggap tidak sah qunut, dianggap tidak sah, dan satu dianggap masuk neraka.

Masak agama Allah sampai dampaknya diantara neraka dan surga, di sektor pelaksanaan ibadah, kan tidak masuk akal, kalau di aqidah iya, tetapi kalau disyariat Allah memiliki hierarki dan kedudukan hukum yang berbeda-beda dan mentolerir orang-orang yang situasinya yang membuat dia tidak bisa full option, dan menganjurkan bagi yang longgar dan tidak punya beban untuk memilih yang full option dalam melaksanakan ibadahnya.

Adapun di akhlak logikanya beda lagi, akhlak itu menjaga hubungan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah persaudaraan berbasis darah, persaudaraan berbasis aqidah harus dijaga, kalau tindakan kita membuat rusaknya tali silaturahmi, harus ditahan jangan dikerjakan, tetapi kalau meningkatkan tali silaturahmi harus ditingkatkan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan tidak bertentangan dengan aqidah.

Jadi orang cium tangan, aslinya cium tangan kepada orang tua, kemudian kepada orang yang dihormati yang lebih tua, bukan orang tuanya. Ini boleh, inikan cara menghormati, ada refereisninya, disebutkan,”Bukan golongan saya orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda, yang muda di cium jidatnya yang tua ………” Lalu ini cara menghormati, kalau tidak sama sekali tidak punya rasa hormat dan ini akan merenggangkan hubungan tali silaturahmai, ini orang tidak punya rasa hormat, maka cacat.

Dalam rangka menjaga rasa hormat sesuai dengan yang biasa berlaku tidak mengapa kita mengikuti walaupun tidak harus selalu seperti begitu, sesekali cium tangan, sesekali tidak sesekali kita begini, tidak boleh hilang hingga dia merasakan ada hubungan khusus sebagai silaturahmi antara kita dengan mereka, jadi longgar kalau di bidang akhlak, yang sepanjang tidak bertentangan dengan akidah.

Maka jangan dicabut tangannya saat dicium tangannya,”Kenapa ente cium tangan, nabi saja tidak mau.” Beda Rasulullah dahulu dihadapan siapa dia tidak mau dan di hadapan siapa dia membiarkan.

Jadi demikian akhlak landasan berfikirnya adalah untuk menjaga tali silaturahmi yang diwajibkan oleh Allah, sepanjang tidak bertentangan Syariah ada kondisi full option dan ada kelonggaran untuk memilih yang customuse kalau akida pilihan  yer or not, tidak boleh memilih or.

Maka terimalah Islam secara utuh walaupun pelaksanaannya bertahap. Dalam menjalankan agama Allah jangan mengikuti cara beragama mereka yang telah dikooptasi oleh setan, ahli kitab dan al-yahud, mereka beragama tetapi penuh penyimpangan.

Ada wanita Yahudi penyanyi, setelah selesai nyanyi dipanggil Biden, salaman tetapai dia menolak, karena ajaran agamanya tidak mau bersentuhan dengan laki-laki,

tapi bagaimana dengan rambutnya, karena orang Yahudi juga diperintahkan untuk menutup rambut, tetapi dia manusia sejatinya tidak kain seperti biarawati dan seperti suster agama mereka, maka dia pakai wik, jadi dipasang itu melaksanakan perintah Allah dan itu banyak cerita tentang bagaimana mereka melakukan menutup rambut palsu.

Mereka mempermainkan Allah di sekor yang lain, rambut palsu sendiri diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan mereka juga dilarang, tapi dia menghapusnya demi untuk mnejaga kepentingan, itulah mereka yang merasa sangat religius, tetapi dengan cara yang tricky, itu cara setan menggoda mereka.

Kembali ke QS. Al-Baqarah (2): 214. am ḥasibtum an tadkhulul-jannata wa lammā ya`tikum maṡalullażīna khalau ming qablikum, massat-humul-ba`sā`u waḍ-ḍarrā`u wa zulzilụ ḥattā yaqụlar-rasụlu wallażīna āmanụ ma’ahụ matā naṣrullāh, alā inna naṣrallāhi qarīb [Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.]

Maka disebutkan,”Jika engkau menyimpang, setelah datang kepada kalian penjelasan dari Quran dan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ketahuilah bahwa Allah itu Maha Mulia dan Allah itu sangat bijak, tidak membutuhkan komitmen kalian.” Justru kalian akan rugi dan Allah Maha Bijaksana jika ada minat untuk kembali kepada Allah, maka Allahu pun akan meresponnya.

Maka begitulah setan, maka di sini untuk bisa melaksanakan secara utuh ajaran agama Islam, apakah kalian merasa sudah pantas masuk surga sementara kalian belum merasakan apa yang dirasakan oleh para pendahulu kalian dalam membangun komitmen beragama. Mereka harus menghadapi resiko untuk memastikan komitmen keagamaannya, bahkan kadang harus menderita bahkan kadang harus sengsara.

Ini yang tidak siap mereka menderita dan sengsara di jalan Allah mereka tidak

siap.

Maka kisah di Sudan bahwa ada seorang ulama besar di Sudan dan tetangganya

orang Yahudi sudah tua dan di usianya yang sudah sangat tua dia datang ke ulama tersebut yang di samping rumahnya menyatakan ingin masuk islam, menyatakan dirinya ingin Islam, di depan murid-muridnya, sang Yahudi berkata,”Saya ingin masuk islam, saya ingin diterima oleh Allah dan menjadi orang yang baik seperti kalian.”

Sang ulama katakan,”Sebaiknya jangan!” Dia bertanya,”Kenapa?” Jawab sang ulama,”Kau tahu tidak di musim panas yang sangat menyengat kalau jadi orang Islam tidak boleh minum, tidak boleh makan, dan itu sepanjang hari, kau tidak boleh makan dan minum, di musim dingin yang sangat dingin, suhunya dibawah nol kau harus mandi dan kau harus berwudhu di udara yang sangat dingin seperti begitu, maka susah menjadi orang Islam itu, di saat kita ingin rileksasi dan ingin privasi kau lihat itu orang-orang di Mekah dia berkerumun dan berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas  ibadah  di  musim  panas,  dalama  jumlah  orang  yang  jutaan  berdesak-

desakkan. Jadi sengsara betul menjadi orang Islam itu.” Katanya,”Iya,” lalu dia pulang lagi, dia tidak jadi masuk.

Muridnya yang bingung,”Ya Syeck, kau lupa hadist yang mengatakan kalau Allah mememberikan hidayah kepada seseorang melalui engkau maka kau akan memperoleh pemberian yang tidak terhingga dari Allah.”

Kata ulama,”Kau kenal dia?” jawab muridnya,”Iya.” Tanya ulama,”Siapa dia.” Jawab muridnya,”Dia tetangga kita, orang Yahudi.” Kata sang ulama,”Kau tahu tidak hidupnya dia, sepanjang hidupnya dia berbuat maksiat, seluruh kemaksiatan dia lakukan semua, tetapi menjelang mati dia dengan Islam, nanti diampuni semua dosanya, dia masuk surga dan kita belum tentu masuk surge, tidak, biarkan dia dalam keadaan begitu……..” Muridnya semua ketawa, ada muridnya yang serius bertanya,”Syeck ini kan apa yang membuat … kan Allah tidak akan ………?”

Kata sang ulama,”Begini orang Yahudi itu tidak mau beresiko kalau beragama, saya jelaskan resikonya kalau beragama Islam kepadanya, maka dia batal masuk Islamnya, itulah Maha Suci Allah yang menjelaskan sifat dan karakter orang Yahudi yang mau enaknya saja, dia tahu kalau lost minute menjelang mati masuk Islam di akan diampuni semua dosanya, maka begitu dijelaskan resiko dari keislaman dia tidak mau.”Jadi dia upunya alasan.

Jadi ini adalah tidak siap menerima resiko, maka bagaimana kalian merasa yakin akan masuk surga sementara kalian belum merasakan penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh generasi sebelum kalian, saat menjalankan keislaman, dan keagamaan dan kepatuhannya.

Bahkan dia diguncang oleh sebuah situasi yang sangat mencekam. Justeru yang mereka ucapkan saat menghadapi bencana itu bukan bagaimana meninggalkan agama, tetapai bagaimana cara mendekat, kapan Allah menolong kita, agar kita tetap istiqomah, dan agar resiko yang kita hadapi diringankan allah dan tidak sampai kita diuji.

Lalu Allah menjawab,”Ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu dekat dan Allah akan menolong, dan begitulah maka jangan menjadikan hambatan lapangan, resiko lapangan dan kemudian yang nampak tidak menyenangkan itu menjadi penghalang bagi kita untuk tetap istiqomah di dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.

Kita boleh menghindari resiko tetapi tanpa harus meninggalkan ajaran agama. Jadi berselancar di tengah-tengah asumsi negatif yang akan muncul jika kita istiqomah, tetapi istiqomahnya tidak boleh berubah, hanya berikhtiar menghindari resiko, itu boleh tapi kalau meninggalkan agama karena takut resiko, itu yang tidak boleh, itu cara beragama ahli kitab, yang enak dijalankan, yang beresiko ditinggalkan.

Inilah dari rangkaian surat Al-Baqarah setelah menjelaskan beragam perilaku Ahli kitab dalam habluminallah dan habluminannas, dan dalam mengikuti nabi, setelah itu Allah menjelaskan bahwa al-birru, kebajikan dan ibadah itu adalah dijelaskan hingga ayat ke-200-an lalu kemudian Allah menjelaskan tentang bagaimana sikap yang harus kita ambil dalam sebelum berhablumminallah dan berhabluminannas dan Allah menjanjikan surga.

Jadi aslinya jika menghadapi perbedaan seperti terjadi di ahli kitab, kita tetap harus yakin bahwa kita adalah ummatan wahidah. Jadi harus menjadi yang strategis, yang ideologis yaitu wahdatul ummah, membangun soliditas dan solidaritas umat hingga mereka bisa memiliki mobilitas yang komprehensif dan sangat tinggi. Jangan justru kita menjadi faktor pemecah belah dan menjadi unsur yang memprovokasi hingga terjadinya perpecahan.

Kalau sekarang nampak terasa tidak ada jalan, maka pertolongan Allah itu dekat, dengan pertolongan Allah akan mendatangkan bala bantuan-Nya dan bukan harus meninggalkan apa yang diajarkan, tetapi kita semakin merapat akan mendekati agar dibantu mengatasi persoalan.

PERTANYAAN

Pertanyaan  (Bapak Ali Andrew)

Pertama, kita lihat fenomena saat ini, saat ini kita muslim terpecah-pecah, apakah karena sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 213, ataukah ada factor lain? Kedua, ada yang mengatakan bahwa Syiah itu sudah menyimpang dari islam atau murtad dari islam, tetapi ada yang mengatakan bahwa Syiah itu masih Islam karena mereka juga mengucapkan syahadat.

Jawaban

Syiah itu ada beberapa sekte, ada sekte yang menganggap Ali bin Abi Thalib adalah nabi, cukup dengan Ali tidak perlu ke Nabi Muhammad Shallallahu salam, di Syria dan di Iraq ada sekte yang menganggap Ali itu adalah tuhan, ada yang menganggap di bawahnya lagi ada yang menganggap tuhan, ada yang menganggap Nabi, ada lagi yang dikatakan bahwa Ali bin Abi Thalib itu yang berhak menjadi khalifah sesudah ke wafatnya Rasulullah, maka siapapun yang menjabat sebagai khalifah sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan mereka adalah telah mengkhianati pesan-pesan Rasulullah, sehingga harus dia dilaknat dan harus dikutuk, sehingga siapapun yang mendukung kehilafan Abu Bakar, Umar dan Utsman juga harus bikin dilaknat.

Ada lagi sekte yang mengatakan ahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang nabi yang tertinggi, tidak ada sahabat lain yang punya kemuliaan seperti Ali Bin Abi Thalib, ada yang mengatakannya iya Ali bin Abi Thalib adalah sahabat mulia, tetapi tanpa menegasikan kemuliaan sahabat-sahabat yang lain. Ini disebut dia yang sektenya paling ringan. Jadi dia tidak sangat melaknat sahabat nabi tetapi dia hanya mengakui Ali yang unggul sahabat lain juga punya keunggulan.

Inilah yang lebih dekat dengan Ahlusunnah wal jamaah, karena Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan semua sahabat unggul, dengan kelebihannya masing-masing, Abu Bakar punya kelebihan, Ali punya kelebihan yang semuanya punya kelebihan. Mungkin kalau diakumulasikan bisa jadi di sektor ini Abu Bakar yang paling unggul, di sektor itu Umar yang unggul, Dan salah satu keunggulan Ali bin Abi Thalib adalah dia sahabat nabi, dan masih anggota keluarga nabi, yaitu saudara sepupunya, dan dia masuk Islam sejak remaja sebelumnya balikh, sehingga dia tidak pernah bersentuhan dengan kemungkaran dan kemaksiatan dan kemusyrikan, dan dia pasang badan membela Rasulullah.

Abu Bakar masuk Islam dulu sebelumnya dia tidak beriman, tetapi dia adalah seorang yang hanif, yang bersih mengikuti ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam, Umar dulu musyrik dan penentang ajaran Rasulullah, lalu berubah menjadi…………

Kalau dalam riwayat hidupnya yang paling elegan adalah Ali, karena dari kecil sampai dia dewasa, sejak pertama kali dia orang yang masuk Islam pertama kali dan dia masih remaja masuk islam, dan dia sangat setia dan dia pengagum dan pecinta Rasulullah, dari sektor yang ini dia unggul, tetapi bukan berarti dalam segala hal dia unggul dari sahabat lain, ada keunggulan Abu Bakar, ada keunggulan Umar dan ada keunggulan Utsman.

Jadi kita harus mengakui semua sahabat adalah orang-orang yang mulia karena dibina langsung oleh Rasulullah dan orang-orang yang punya keunggulan dan kelebihan yang berbeda-beda, dan masing-masing leading di bidangnya.

Ini aqidahnya Syiah zaidiyah yang paling dekat dengan Ahlul Sunnah, Wal Jamaah tetapi yang melaknat Abu Bakar, melaknat Aisyah, melaknat Umar ini orang- orang binaan nabi dikutuk dan dilaknat oleh mereka, kan dia tiadak ada yang benar kecuali anggota keluarga Nabi, artinya nabi gagal membina umatnya, yang berhasil hanya saudaranya saja, yang mempercayai selebihnya menghianati dia.

Ini kan, masa iya seorang nabi seperti itu kan tidak benar, nah begitulah aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah dan begitulah aqidah Syiah, dan mayoriasanya Syiah adalah yang menyimpang berlebihan, salah satunya sihirnya, itu dinyanyikan oleh Jenifer di Amerika.

Kalau kita memuji semua sahabat nabi, mengakui keunggulan dan kesetiaan mereka kepada rasulullah, maka bukan hanya anaknya Ali bin Abi Tholib, tetapai anaknya Abu Bakar, anaknya Umar, anaknya semua anak para sahabat, anaknya Abdullah bin Abbas, semuanya kita memuji yang hasil binaan Rasulullah, dan mendampingi dan ikut berperang dan memperjuangkan Islam bersama Rasulullah, semuanya adalah orang-orang yang as-sabiqun Al Awwalun disebut dalam Al-Quran.

Tetapai mereka Syiah tidak mau, maka itulah yang membedakan dengan Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Jadi kita harus melihat mereka, bahwa ada sekte-sekte yang berbeda-beda pada Syiah. Jadi tidak semua sama tetapi mayoritas sekte di Syiah itu menyimpang, yang tidak menyimpang adalah yang tidak menghalalkan mut’ah, dan Syiah yang menyimpang adalah menghalalkan mut’ah.

Jadi kalau kita merasakan indahnya mut’ah berarti kita terbawa oleh sesuatu yang menyimpang.

Pertama, apa faktor utama yang menyebabkan kita khilaf, kan disebutkan ada dua, ada datangnya ilmu pengetahuan yang diterima dari Allah dan Rasul, berbeda karena belum menerima wahyu.

Jadi ulama hadis Imam Malik, Imam Malik itu tinggal di Madinah, imam Syafi’i datang ke Madinah dan belajar, lalu kemudian Imam Ahmad bin Hambal itu muridnyanya Imam Syafi’i, di era Imam Ahmad Hambal berbeda, karena sudah ada spesialis yang memverifikasi kebenaran sejumlah hadist, sehingga kadang cara pandang dalam melihat referensi antara Imam Ahmad bin Hambal dengan Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda, Imam Hanafi yang tinggal di Bagdad, para perowi hadis ada sebagian yang tidak menemukan hadisnya karena belum sampai ke mereka hadistnya, lalu kemudian dia berijtihad, setelah mendengarkan ada hadist sohih ditinggalkan pendapat mereka.

Maka Imam Syafi’i mengatakan,”Hadis yang shohih itulah yang saya pilih, kalau pendapat saya bertentangan dengan hadits, maka kamu campakkan dia, jangan dipakai.” Dan Demikian Imam Malik dan Imam Ahmad, imam Syafi’i. Jadi mereka bersepakat yang semuanya referensi utamanya adalah Al-Quran dan hadis. Tetapi referensi kebenaran hadits itu bertahap.

Jadi kalau sudah datang penjelasan Al-Quran ya sudah dan kalau sudah datang penjelasan hadist, ya sudah, walaupun beda kita menerimanya. Ini tentang ketersediaan referensi, maka tidak semua ulama kita yang tidak punya referensi, kitab-kitab berbahasa Arab kumpulan hadis di negeri kita itu sangat langka dan susah payah ulama- ulama di daerah, maka kalau mereka berbeda ya kita maklumi, belikan saja buku, agar mereka membaca nanti kita akan sama pemahamannya.

Adapun kemudian orang-orang yang sama-sama berilmu dan sama-sama tahu hadits dan Al-Quran beda pendapat, mungkin metodologinya yang berbeda di dalam mengambil kesimpulan.

Kalau tidak bisa di pertemukan dan akhirnya menimbulkan, akhirnya mereka bersengketa. Kalau beda cara pandang dibenarkan dalam Al-Quran, disebutkan:

QS. Hud (11): 118. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat,

Bahwa aslinya umat manusia itu  memiliki kesatuan, kalau Allah mau maka Allah  bisa  menyatukannya,  tetapi  begitulah  mereka  diciptakan,  memang  Allah menciptakan manusia dengan beragam perbedaan yang dimiliki, tetapi ada orang yang diberi rahmat Allah terhadap perbedaan pemikiran, tidak melanjutkan hingga menjadi sengketa. Cukup di perbedaan pemikiran saja, tanpa harus membuat mereka sengketa.

Kalau yang menghentikan tidak sampai sengketa itulah orang yang diberi rahmat oleh Allah. Kalau sebagai sebuah varian dan sebagai sebuah pilihan dan dinamika kehidupan yang harus dimaklumi, toh cuma sedikit berbeda, selebihnya kita sepakat,  ini saja kita dahulukan yang teah sepakat.

Kalau kemudian dia menjadi berubah menjadi sebuah sengkteta berarti dia diprovokasi oleh setan, itu baghyam bainahum, maka muncul kedengkian yang salah persepsi tentang Allah dan tengang Rasulullah, dan lalu timbul kedengkaian dan rasa iri.

Kalau sampai terjadi benturan, ini yang dilarang dan jangan kalian berfiko-fiko, melakukan penggalangan dan melakukan mobilisasi untuk dibenturkan, itu yang dilarang. Yang dilarang ada lagi jangan bersengketa dan ada lagi yang jangan sampai seperti agama lain yang melakukan penggalangan dan mobilisasi dan berbenturan sesama mereka, itulah yang dijelaskan di dalam Al-Quran.

Jadi sebatas beda cara pandang itu boleh saja. Ada lagi mungkin dimaklumi karena belum sampai kepada dia referensi atau kitab, cara pandang, atau mungkin memang dia satisfied dibidang, itu,”Ya sudah toh hanya sedikit bedanya, sepakat yang lebih banyak begitu.”

Jadi itulah yang harus kita miliki jika kita meyakini bahwa itu adalah kita diperintahkan untuk membangun ummatan wahidah, dan Rasulullah berhasil membangunnya dan kita belum nampak keberhasilannya, tetapi itu harus menjadi strategi yang harus kita raih dengan beragam strategi.